BONGKAHAN batu hitam seperti batu candi yg ada di kampung Randukuning, Kelurahan Pati Lor, Kecamatan Kota Pati bentuknya mirip gong berukuran besar.
Warga Kelurahan Pati Lor, Kecamatan Kota Pati, Khususnya Kampung Randu Kuning menyebutnya sebagai gong watu. Karena berupa bongkahan batu hitam berukuran cukup besar yg jumlahnya lima buah, tapi satu bongkahan dalam kondisi pecah serta satu berbentuk lempengan panjang 120 cm dan lebar 40 cm. Bongkahan batu hitam itu menjadi tidak lazim berada di tempat tersebut, katena lingkungan bukan daerah pegunungan atau terdapat di aliran kali besar yg berhulu di kawasan pegunungan. Apalagi, batu yg bentuknya mirip gong jenis kenong di perkirakan sudah berumur ratusan tahun.
Bahkan berdasarkan cerita tuturtinular, gong watu itu menjadi bagian kecil dari catatan pada pemerintahan Kadipaten Pati Pesantenan, Adipati Mangun Oneng dan hingga sekarang ada dua gong watu yg masih utuh. Sedangkan asal usul benda tersebut terjadi karena kesaktian Ki Gedhe Blotho, salah seorang abdi dalem Kadipaten Pati Pesantenan. Sebab gong watu itu semula berupa gamelan atau gong asli dari perunggu milik Randhu Kuning.
Bahkan berdasarkan cerita tuturtinular, gong watu itu menjadi bagian kecil dari catatan pada pemerintahan Kadipaten Pati Pesantenan, Adipati Mangun Oneng dan hingga sekarang ada dua gong watu yg masih utuh. Sedangkan asal usul benda tersebut terjadi karena kesaktian Ki Gedhe Blotho, salah seorang abdi dalem Kadipaten Pati Pesantenan. Sebab gong watu itu semula berupa gamelan atau gong asli dari perunggu milik Randhu Kuning.
Sebagai perempuan mandiri yg berparas cantik, Rondho Kuning mengelola padepokan/sanggar tari khusus tayub untuk remaja putri di lingkungannya yg sekarang masuk wilayah RT 8 RW 3 kampung setempat. Kegiatan sanggar tari itu sempat terdengar oleh sang Adipati. Karena itu, dalam musyawarah membahas situasi daerah, Ki Gedhe Blotho pun molai memasang jebakan. Yakni, menyatakan tidak sependapat jika di Randu Kuning ada kegiatan sanggar tari tayub, karena di khawatirkan dampaknya bisa merusak moral warga, terutama anak-anak muda. Alasan tersebut, ternyata hanya sebagai salah satu strategi lelaki sangar dan weng itu agar bisa mendekati Rondho Kuning. Apalagi jika melihat wajah perempuan itu, dari segi kecantikan tidak ada yg menandingi, rasa kasmarannya pun tidak dapat dihindari. Akan tetapi Adipati Mangun Oneng yg sudah tau watak bawahannya itu tidak mudah menerima pernyataan keberatan adanya sanggar tari tayub tersebut. Sebab apa yg biasa dikatakannya tidak setuju itu adalah kebalikannya, sehingga Adipati justru minta agar paguyuban tari tayub Rondho kuning terus terus di kembangkan.
Merasa rahasia isi hatinya terbaca sang Adipati, maka dari pada terlanjur basah lebih baik mandi sekalian. Apalagi, ternyata juga ada keluarga kadipaten yg ikut jatuh hati begitu mrlihat sosok perempuan berparas cantik dan berkulit kuning langsat itu.
Hal itu berarti ada yg menghalangi keininan Ki Gedhe Blotho dan itu harus di singkirkan. Akan tetapi, ketika saatnya harus berterus terang kepada Rondho Kuning, ternyata perempuan itu sudah terlanjur menutup pintu hatinya untuk semua laki-laki. Tapi penolakan itu justru membuat ki Gedhe Blotho betulang kali terus memaksa mempersunting Rondho Kuning. Namun, lagi-lagi jawabannya adalah penolakan yg tanpa basa-basi. Pincaknya, sedah bisa di tebak lelaki yg berwatak brangasan dan tempramental itu marah dan menampakkan kesaktiannya. Sehingga gamelan yg biasa digunakan mengiringi tarian tayub itupun dalam waktu sekejap diubah menjadi batu yg sampai sekarang oleh warga setempat dikenal sebagai gong watu.
Disamping itu sebutan gong watu juga dipakai sebagai nama klub olahraga, baik bulutangkis, maupun bola voly. Apalagi, sampai sekarang ada warga tertentu yg masih mendengar gaung suaranya meskipun sudah berubah menjadi batu. "Pada waktu-waktu tertentu batu itu tetap mengalunkan bunyi gamelan seperti sedang di tabuh orang."
0 komentar: